
Peneliti senior politik BRIN, Moch Nurhasim, menjelaskan kepada Komisi II DPR mengapa sistem pemilu di Indonesia perlu diatur ulang.
Pemilu serentak sedianya diharapkan dapat menyederhanakan sistem kepartaian. Namun, kenyataannya malah memperkuat fragmentasi politik dan mengarah pada konsep multipartai ekstrem.
“Penyederhanaan partai ini gagal. Pemilu kita tetap mengarah pada multipartai yang sangat ekstrem,” kata Nurhasim dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) Komisi II dengan pakar terkait pilkada di gedung DPR, Jakarta, Rabu (26/2).
Menurutnya, jika pemilu serentak efektif dalam menyederhanakan partai, seharusnya ada partai yang mampu memperoleh suara di atas 30-40 persen. Namun, Pemilu 2019 dan 2024 menunjukkan fragmentasi tetap terjadi, bahkan semakin ekstrem.
Secara teori, sistem proporsional selalu menghadapi dua kemungkinan: multipartai tanpa partai dominan atau multipartai dengan dominan partai. Tapi faktanya, pemenang pemilu kita tetap minoritas, di bawah 20 persen,” jelas Nurhasim.
Aturan Ambang Batas Juga Gagal Sederhanakan Partai
Sejak 1999, Indonesia telah menerapkan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) untuk mengurangi jumlah partai. Namun, jumlah partai di parlemen tetap banyak.
Menurut Nurhasim, sistem proporsional terbuka lebih mendorong pembagian suara ke banyak partai daripada mengakumulasi suara ke satu partai dominan. Ini menyebabkan fragmentasi yang terus berlanjut meskipun ada aturan ambang batas.

“Pemilu serentak ini ada gejala split of voting, pembagian pilihan di pilpres siapa di DPR, siapa di DPD, siapa di DPRD provinsi, dan sebagainya dan itu terbukti dari data yang ada,” katanya.
Selain itu, pemilu serentak juga gagal meningkatkan coattail effect, yaitu keberhasilan calon presiden diharapkan bisa mendongkrak suara partainya di parlemen.
Dari hasil temuannya, pemilih tetap membagi suara mereka di berbagai partai untuk legislatif, sehingga efek ekor jas tidak terbukti.
Coattail effect juga tidak relevan,” tutur Nurhasim.
Karena berbagai kegagalan ini, ia menilai pemilu serentak perlu dikaji ulang. Nurhasim memang tidak secara langsung menawarkan sistem baru, namun ia menawarkan sistem campuran sebagai opsi.
Ia memaparkan sistem campuran atau (mixed electoral system) memiliki dua model utama, yaitu mixed-member majoritarian dan mixed-member proportional. Kedua sistem ini harus dikaji dan dilihat mana yang sesuai dengan Indonesia.
Pemilu proporsional dikombinasikan dengan desain serentak ternyata tidak efektif. Oleh karena itu, perlu ada upaya lain untuk menata ulang sistem pemilu,” saran Nurhasim.